Kamis, 04 Oktober 2007

Ramadhan, Warga Ramallah Makin ReligiusKamis

Ramadhan, Warga Ramallah Makin ReligiusKamis, 04 Oktober 2007
Ramadhan menjadikan warga Ramallah justru religius. Jika sebelumnya sebagian orang frustasi karena keadaan, bagaimanapun, agama menjadi tempat kembali

Hidayatullah.com—Lima tahun lalu, restoran-restoran di Ramallah, Tepi Barat, buka sepanjang hari selama Ramadhan. Tahun ini, banyak dari mereka tutup selama waktu puasa dan menarik semua alkohol dari daftar menu.

Perubahan ini menurut beberapa kalangan adalah bagian dari kecenderungan ribuan warga Palestina yang kembali menoleh kepada Tuhan, setelah dihadapkan dengan lesunya perekonomian, pertempuran antar-faksi, dan kecilnya harapan bagi perdamaian dengan Israel serta kecilnya harapan memiliki sebuah negara sendiri.

Huda, 24, seorang perempuan yang menolak menyebut nama panjangnya, mengatakan teman-temannya hampir tidak percaya ketika sosoknya yang liberal itu ternyata berpuasa.
Saya bukan seorang fanatik, tapi di hati saya ada perasaan beragama dan saya ingin berpuasa tahun ini, katanya lalu mengatakan teman-temanku tercengang dengan perubahan seketika ini.
Profesor Marwan Abu Khalaf, 50, mengatakan jumlah pemuda yang datang ke masjid di dekat rumahnya terus menerus bertambah.

Saya sudah 10 tahun biasa sholat (di masjid itu) dan saya bisa bilang ada peningkatan 25 persen dari kalangan muda yang datang untuk sholat, kata Abu Khalaf kepada Reuters.

Perempuan di kota-kota di Tepi Barat seperti Hebron, Qalqilya, atau Tulkarm umumnya mengenakan kerudung, namun sebagian orang mengatakan bahwa makin banyak perempuan mengenakan penutup muka dan makin banyak pria memelihara jenggot semenjak Hamas menguasai Jalur Gaza, dan hal itu juga terjadi di kota besar seperti Nablus.

Di Ramallah, kota ekonomi Tepi Barat yang bertahun-tahun berkembang secara sekuler, sebagian perempuan mulai mengenakan pakaian yang lebih sopan. Makin sedikit yang mengenakan rok pendek atau baju kaus tanpa lengan di Ramallah, dan makin banyak yang mengenakan kerudung serta pakaian perempuan Muslim.

Perempuan yang mengenakan rok pendek merasa asing atau dilecehkan lewat omongan lelaki di jalanan, kata Eman Hammouri, Direktur Pusat Seni Populer di Ramallah.

Beberapa kalangan di Palestina mengatakan kelompok-kelompok pejuang pembebasan memanfaatan Ramadhan menyadi pembangun semangat.
Osama Khalaf, pemilik Darna, restoran paling terkenal di Ramallah, mengatakan dia tidak lagi menyajikan alkohol selama Ramadhan.
Dia mengatakan warga Tepi Barat yang Muslim maupun Kristen, (jumlahnya sekitar 2 persen dari populasi Palestina), makin hari makin religius seiring kondisi hidup yang semakin sulit.
Bukan hanya Muslim yang makin religius, minoritas Kristen juga makin taat mengikuti ajaran Kristiani karena lingkungan di sekeliling mereka juga makin religius.

Dengan ketiadaan pilihan lain, mereka kembali kepada Tuhan demi stabilitas dan keamanan spiritual mereka, kata Mahmoud Habbash, Menteri Pertanian Pemerintahan Tepi Barat yang didukung Fatah.

Beberapa pengamat mengatakan perasaan putus asa telah membuat makin banyak warga Palestina mencari ketenangan batin dengan menjalani agama.

Sebagaimana diketahui, kota Ramallah, Tepi Barat dan Jerusalem Timur sepenuhnya di bawah kontrol militer Israel. Garis antara Tepi Barat dan wilayah Israel sangat terbuka. Bahkan, kota Tulkarem dan Kalkiliya di Tepi Barat hanya berjarak beberapa kilometer dari kota-kota Israel.
Ini berbeda dengan Jalur Gaza, yang sepenuhnya dikuasai oleh pejuang Hamas. Semenjak di bawah kendali Hamas, masjid dan pusat-pusat keagamaan kembali dihidupkan. Tempat-tempat maksiat tak mungkin ditemukan secara terbuka. Sementara nafas Islam lebih terlihat dengan jelas. [rtr/plt/cha/www.hidayatullah.com]

Tidak ada komentar: